Sunday, 26 November 2023

Latar Belakang diperlukannya Konseling Keluarga

Konseling keluarga


Akhir-akhir ini banyak keluarga terganggu oleh berbagai masalah seperti masalah ekonomi, masalah perselingkuhan, masalah kejenuhan, masalah menurunnya kewibawaan orang tua karena mereka memperlihatkan prilaku yang kurang terpuji seperti mabuk-mabukan, berjudi sehingga membuat suami istri saling bermusuhan.

Hal yang sama dari hasil studi kasus menunjukkan semakin banyaknya angka perceraian yaitu 5% naiknya dalam dua tahun terakhir dari tahun 2011 - 2013, faktor yang menjadi pemicu terjadinya perceraian antara lain: tidak adanya tanggung jawab suami (48 %), ketidak harmonisan dalam keluarga (22 %), faktor ekonomi (20 %) dan sebab-sebab lain (10 %).

Kebanyakan kasus-kasus seperti tersebut diatas ini diajukan ke Pengadilan Agama yang menyelesaikan kasus kasus keluarga hanya berdasar agama saja tanpa dianalisis dari sisi psikologis, yaitu seberapa jauh perkembangan emosi suami istri yang bermasalah itu dapat mengancam keutuhan sebuah keluarga, disisi lain bagaimana komunikasi yang diciptakan sehingga timbul persoalan persoalan kesalah-pahaman diantara masing-masing pihak. Dari sinilah diusahakan agar masing-masing suami istri itu dapat mengungkapkan perasaan, kemarahan, kesedihan, kekesalan, keterhinaan dan keterancaman. Ungkap seluas-luasnya sehingga dia kembali normal. Jika hal ini dapat terjadi maka akan muncul pikiran sehatnya. Dia akan ingat anak-anak akibat perceraian yaitu yang akan menderita adalah anak-anak, jika terjadi permufakatan maka perceraian dapat dihindarkan. Dari sinilah maka bimbingan dan konseling keluarga hadir sebagai salah satu upaya untuk memberikan bantuan sehingga terwujud keluarga bahagia.

Dikatakan sebagai upaya untuk mewujudkan tatanan kehidupan kluarga yang bahagia, dalam hal ini tentu dikaitkan dengan mempertimbangkan dimensi-dimensi kemanusiaan yang meliputi: (a) dimensi individualitas; (b) dimensi sosialitas; (c)dimensi moralitas dan (d) dimensi religiusitas (Prayitno, 1990).

Dimensi individualitas, secara perorangan manusia baik suami maupun istri memiliki perbedaan baik secara fisik maupun psikhis. Berbeda secara fisik misalnya badannya jangkung, rambutnya pirang, hidungnya pesek dan lain-lain. Sedangkan berbeda secara psikhis misalnya berfikirnya lamban, sensitive, terlalu banyak pertimbangan dan lain-lain. Meski banyak terdapat perbedaan juga terdapat banyak kesamaan-kesamaan antara individu satu dengan lainnya, misalnya mempunyai hobby yang sama, yaitu jalan-jalan membaca buku, seleranya sama suka pedas dan lain-lain. Dengan melihat sisi perbedaan tersebut maka bagaimana bimbingan dan konseling keluarga menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut sehingga tidak bertentangan antara suami dan istri dalam keluarga tersebut. Pengembangan dimensi keindividualitas memungkinkan seseorang dapat memperkembangkan segenap potensi yang ada pada dirinya secara optimal yang mengarah pada aspek-aspek kehidupan yang positif, seperti misalnya, bakat, minat, kemampuan dan berbagai kemungkinan. Perkembangan dimensi ini membawa seseorang untuk menjadi individu yang mampu berdiri tegak dengan kepribadiannya sendiri dengan aku yang teguh, positif, produktif dan dinamis (Prayitno, 1994).

Baca Juga

Tujuan Konseling Keluarga

Pengertian konseling dalam keluarga

Tujuan Bimbingan Konseling Perkawinan


Dimensi sosialitas, setiap individu tidak bisa lepas dari individu lain, bahkan hampir setiap kegiatan manusia dalam sehari-hari tidak bisa lepas dari manusia lain, sebagai misal makan mulai dari menyiapkan bahan, memasak, menyajikan makanan selalu memerlukan orang lain. Ketergantungan ini bisa dikatakan sekaligus sebagai rasa kebersamaan dalam suatu keluarga. Pengembangan dimensi individualitas hendaklah diimbangi dengan dimensi kesosialan pada diri individu yang bersangkutan, karena dengan dimensi kesosialan akan memungkinkan seseorang mampu berinteraksi, berkomunikasi, bergaul, bekerja sama dan hidup bersama dengan orang lain, dengan hidup bersama tersebut masing-masing baik suami maupun istri akan tumbuh dan berkembang, saling mengisi dan saling menemukan makna yang sesungguhnya dalam suatu keluarga (Prayitno, 1994). Dengan mengembangkan sisi dimensi kesosialan ini maka individu akan mampu berinteraksi dan berkomunikasi dalam rangka upaya mewujudkan tata kehidupan bersama baik dalam kehidupan berkeluarga maupun dalam bermasyarakat.

Dimensi yang ketiga adalah moralitas, kehidupan manusia baik secara individu maupun bersama-sama tidaklah bersifat acak atau sembarangan, melainkan mengikuti aturan-aturan, norma-norma tertentu. Aturan atau norma tersebut dapat bersumber dari: adat kebiasan, social, agama, hukum politik dan lain sebagainya. Dalam hidup bermasyarakat misalnya, aturan-aturan tersebut semakin diperlukan dalam rangka untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih sejahtera. Dimensi kesusilaan atau moralitas akan memberikan warna moral terhadap perkembangan dimensi pertama dan kedua. Aturan, norma dan etika diperlukan untuk mengatur bagaimana kebersamaan antar individu sebagai suami dan istri yang seharusnya dilaksanakan. Hidup bersama dengan orang lain baik dalam rangka mengembangkan dimensi keindividualitas maupun kesosialan , tidak dapat dilakukan seadanya saja, tetapi perlu diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga semua orang yang berada didalamnya dapat memperoleh manfaat yang sebesar besarnya dari kehidupan bersama itu, justru dengan dimensi kesusilaan itu dapat menjadi pemersatu antara suami dan istri sehingga antara dimensi individualitas dan kesosialan dapat bertemu dalam satu kesatuan yang penuh makna dalam kehidupan keluarga. Pengembangan ketiga dimensi tersebut secara optimal dapatlah dikatakan perkembangan kehidupan manusia dengan berkebudayaan yang bertaraf tinggi, dimana dengan ketiga dimensi itu manusia dapat hidup layak dan dapat mengembangkan ilmu, tehnologi dan seni sehebat hebatnya bahkan dapat mengarungi angkasa luar, tetapi ini barulah kehidupan duniawi, akan menjadi lebih sempurna apabila dilengkapi dengan dimensi keempat yaitu religiusitas atau dimensi keagamaan (Prayitno, 2001).

Dimensi religiusitas, pada dimensi keagamaan ini manusia berfikir bahwa apa yang dilakukan saat ini adalah untuk kehidupan jangka panjang, yaitu akherat, oleh karena itu segala ucapan, tindakan selalu dikaitkan dengan Yang Maha Pencipta disanalah bermuaranya. Jika keempat dimensi ini dapat dikembangkan secara optimal maka 34 akan lahirlah manusia-manusia yang ideal atau sering disebut dengan manusia seutuhnya.

Bagaimana yang dimaksud dengan manusia seutuhnya? Yang dimaksud dengan manusia seutuhnya adalah manusia yang telah berhasil mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya yang antara lain adalah keempat dimensi yaitu individualitas, sosialitas, moralitas dan religiusitas, sehingga ia benar-benar mencapai kualitas keindahan dan derajat yang setinggi tingginya dalam kehidupan di dunia juga di akhiratnya kelak. Disamping itu manusia seutuhnya adalah manusia yang mampu menciptakan dan memperoleh kesenangan dan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan bagi lingkungannya berkat pengembangan yang optimal segenap potensi yang ada pada dirinya (dimensi individualitas) seiring dengan pengembangan suasana kebersaamaan dengan lingkungan sosialnya (dimensi kesosialan), sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku (dimensi kesusilaan) dan segala sesuatunya itu dikaitkan dengan pertanggung jawaban atas segenap aspek kehidupannya di dunia terhadap kehidupan di akherat kelak dikemudian hari (dimensi religiusitas).Citra manusia seutuhnya adalah manusia yang sebenar benarnya; dimana manusia dengan “aku” dan ke “diri” annya yang matang, tangguh dan dinamis, dengan kemampuan sosialnya yang luas dan bersemangat, tetapi tetap menyejukkan, dengan kesusilaannya yang tinggi, serta dengan keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mendalam.

Pertimbangan lain, buku ini dikembangkan atas dasar kebutuhan; (a) banyak siswa sekolah yang kurang mampu mengembangkan potensinya, misalnya prestasi belajar dan bekerja kurang memadai karena adanya hambatan dan gangguan pada system keluarga, misalnya macetnya komunikasi antara anggota keluarga, kurangnya penghargaan, tidak adanya support diantara anggota keluarga dan sebagainya; (b) banyak siswa dan remaja bahkan mahasiswa yang masih kuliah menderita gangguan emosional karena menghadapi gangguan emosional dalam system keluarga, misalnya adanya pertengkaran diantara kedua orang tua sehingga anak sulit untuk berkonsentrasi, adanya semangat materialistis yang tinggi dan dipaksakan akhirnya mengganggu perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya; (c) adanya gangguan emosional pada siswa di sekolah disebabkan karena adanya gangguan emosional pada system relasi guru dan siswa.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, banyak terjadi siswa yang mempunyai kemampuan dasar tinggi namun hasil belajarnya amat rendah (under
achiever), demikian juga dengan adanya bakat-bakat yang masih terpendam dalam berbagai aspek seperti: seni, teater, organisasi, jurnalistik dan lain-lain yang semuanya ini tidak dapat berkembang karena kurang mendapatkan penghargaan pada system keluarga atau system relasi guru-siswa di sekolah.

Kenyataan di lapangan banyak ditemukan adanya berbagai perilaku yang menyimpang dan kenakalan kenakalan anak atau remaja yang mana itu bukan disebabkan kenakalan anak itu sendiri akan tetapi disebabkan oleh pola-pola perilaku emosional bahkan neurotic yang dikembangkan dalam system keluarga tersebut.

Penanganan kasus gangguan emosional pada anak anak atau remaja tidak bisa diselesaikan per-individu, akan tetapi dengan memberikan bantuan atau konseling keluarga kepada seluruh anggota keluarga sebagai komponen-komponen system yang menentukan tercapainya kesejahteraan keluarga. Alasanya adalah bahwa penyimpangan perilaku dan gangguan emosional terjadi dalam suatu system keluarga yang masing-masing anggotanya berkomunikasi, berinteraksi, saling menghargai, saling mendukung dan saling membutuhkan. Sebagaimana Perez (1979) mengatakan sebagai berikut:

It is the systems approach to family therapy which is very much
in vogue. This approach focuss on the family’s current
problems (the now is the issue). How family members
interaction closely observed by systems therapist. Neurosis,
evev psychosis in a member of family is viewed as a function
of interaction between and among the various family
members. The belief is that an individual ill health in the
result of his adaptation to the sick environment created by
the family.

Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan yang mana inti sarinya adalah: sakitnya seorang anggota keluarga adalah merupakan hasil adaptasi atau interaksinya terhadap lingkungan yang sakit pula, yang diciptakan oleh keluarga tersebut.

Penanganan terhadap keluarga sebagai suatu system bertujuan untuk membantu anggota keluarga untuk pengembangan potensinya agar menjadi manusia yang berguna bagi keluarga dan bangsanya. Disamping itu membantu anggota keluarga yang mengalami gangguan emosi melalui system keluarga. Yaitu setiap anggota keluarga memberikan kontribusi positif dan pemahaman yang mendalam akan hakekat gangguan tersebut. Dengan kata lain keluarga adalah yang berjasa untuk membantu perkembangan anggotanya dan menyembuhkan anggota yang terganggu.

Penanganan konseling keluarga menuntut pengalaman profesional dan wawasan nilai-nilai sosial budaya bangsa termasuk dimensi kemanusiaan tersebut. Konseling keluarga dapat berjalan dengan baik di Negara asalnya (AS) karena kondisi sosial budaya yang mendukung disamping tingkat pendidikan masyarakat yang relatif baik.

Di Indonesia, konseling keluarga baru mendapat perhatian dari masyarakat terutama sejak pesatnya perkembangan kota dan industrialisasi yang cenderung dapat menimbulkan stress bagi keluarga antara lain disebabkan menggebunya anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga mereka jarang berkumpul di rumah, sehingga terjadi pergeseran nilai nilai budaya lokal yang begitu cepat, bahkan dapat menimbulkan keguncangan, sementara orang tua belum siap menerima dan masih berpegang teguh dengan nilai nilai budaya lama.

Sumber : Dra. Faizah Noer Laela, M.Si., Bimbingan Konseling Keluarga Dan remaja, 2017, UINSA PRESS (Hal. 28-38)

No comments:

Post a Comment