Akhir-akhir ini banyak
keluarga terganggu oleh berbagai masalah seperti masalah ekonomi, masalah
perselingkuhan, masalah kejenuhan, masalah menurunnya kewibawaan orang tua
karena mereka memperlihatkan prilaku yang kurang terpuji seperti mabuk-mabukan,
berjudi sehingga membuat suami istri saling bermusuhan.
Hal yang sama dari hasil studi kasus menunjukkan semakin banyaknya angka perceraian yaitu 5% naiknya dalam dua tahun terakhir dari tahun 2011 - 2013, faktor yang menjadi pemicu terjadinya perceraian antara lain: tidak adanya tanggung jawab suami (48 %), ketidak harmonisan dalam keluarga (22 %), faktor ekonomi (20 %) dan sebab-sebab lain (10 %).
Kebanyakan kasus-kasus
seperti tersebut diatas ini diajukan ke Pengadilan Agama yang menyelesaikan
kasus kasus keluarga hanya berdasar agama saja tanpa dianalisis dari sisi
psikologis, yaitu seberapa jauh perkembangan emosi suami istri yang bermasalah
itu dapat mengancam keutuhan sebuah keluarga, disisi lain bagaimana komunikasi
yang diciptakan sehingga timbul persoalan persoalan kesalah-pahaman diantara
masing-masing pihak. Dari sinilah diusahakan agar masing-masing suami istri itu
dapat mengungkapkan perasaan, kemarahan, kesedihan, kekesalan, keterhinaan dan
keterancaman. Ungkap seluas-luasnya sehingga dia kembali normal. Jika hal ini
dapat terjadi maka akan muncul pikiran sehatnya. Dia akan ingat anak-anak
akibat perceraian yaitu yang akan menderita adalah anak-anak, jika terjadi permufakatan
maka perceraian dapat dihindarkan. Dari sinilah maka bimbingan dan konseling
keluarga hadir sebagai salah satu upaya untuk memberikan bantuan sehingga
terwujud keluarga bahagia.
Dikatakan sebagai upaya
untuk mewujudkan tatanan kehidupan kluarga yang bahagia, dalam hal ini tentu
dikaitkan dengan mempertimbangkan dimensi-dimensi kemanusiaan yang meliputi:
(a) dimensi individualitas; (b) dimensi sosialitas; (c)dimensi moralitas dan
(d) dimensi religiusitas (Prayitno, 1990).
Dimensi individualitas, secara
perorangan manusia baik suami maupun istri memiliki perbedaan baik secara fisik
maupun psikhis. Berbeda secara fisik misalnya badannya jangkung, rambutnya
pirang, hidungnya pesek dan lain-lain. Sedangkan berbeda secara psikhis
misalnya berfikirnya lamban, sensitive, terlalu banyak pertimbangan dan
lain-lain. Meski banyak terdapat perbedaan juga terdapat banyak
kesamaan-kesamaan antara individu satu dengan lainnya, misalnya mempunyai hobby
yang sama, yaitu jalan-jalan membaca buku, seleranya sama suka pedas dan
lain-lain. Dengan melihat sisi perbedaan tersebut maka bagaimana bimbingan dan
konseling keluarga menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut sehingga tidak
bertentangan antara suami dan istri dalam keluarga tersebut. Pengembangan
dimensi keindividualitas memungkinkan seseorang dapat memperkembangkan segenap
potensi yang ada pada dirinya secara optimal yang mengarah pada aspek-aspek
kehidupan yang positif, seperti misalnya, bakat, minat, kemampuan dan berbagai
kemungkinan. Perkembangan dimensi ini membawa seseorang untuk menjadi individu
yang mampu berdiri tegak dengan kepribadiannya sendiri dengan aku yang teguh,
positif, produktif dan dinamis (Prayitno, 1994).
Baca Juga
Pengertian konseling dalam keluarga
Tujuan Bimbingan Konseling Perkawinan
Dimensi sosialitas, setiap
individu tidak bisa lepas dari individu lain, bahkan hampir setiap kegiatan
manusia dalam sehari-hari tidak bisa lepas dari manusia lain, sebagai misal
makan mulai dari menyiapkan bahan, memasak, menyajikan makanan selalu
memerlukan orang lain. Ketergantungan ini bisa dikatakan sekaligus sebagai rasa
kebersamaan dalam suatu keluarga. Pengembangan dimensi individualitas hendaklah
diimbangi dengan dimensi kesosialan pada diri individu yang bersangkutan,
karena dengan dimensi kesosialan akan memungkinkan seseorang mampu
berinteraksi, berkomunikasi, bergaul, bekerja sama dan hidup bersama dengan
orang lain, dengan hidup bersama tersebut masing-masing baik suami maupun istri
akan tumbuh dan berkembang, saling mengisi dan saling menemukan makna yang
sesungguhnya dalam suatu keluarga (Prayitno, 1994). Dengan mengembangkan sisi
dimensi kesosialan ini maka individu akan mampu berinteraksi dan berkomunikasi
dalam rangka upaya mewujudkan tata kehidupan bersama baik dalam kehidupan
berkeluarga maupun dalam bermasyarakat.
Dimensi yang ketiga adalah
moralitas, kehidupan manusia baik secara individu maupun bersama-sama tidaklah
bersifat acak atau sembarangan, melainkan mengikuti aturan-aturan, norma-norma
tertentu. Aturan atau norma tersebut dapat bersumber dari: adat kebiasan,
social, agama, hukum politik dan lain sebagainya. Dalam hidup bermasyarakat
misalnya, aturan-aturan tersebut semakin diperlukan dalam rangka untuk
mewujudkan kehidupan bersama yang lebih sejahtera. Dimensi kesusilaan atau
moralitas akan memberikan warna moral terhadap perkembangan dimensi pertama dan
kedua. Aturan, norma dan etika diperlukan untuk mengatur bagaimana kebersamaan
antar individu sebagai suami dan istri yang seharusnya dilaksanakan. Hidup
bersama dengan orang lain baik dalam rangka mengembangkan dimensi
keindividualitas maupun kesosialan , tidak dapat dilakukan seadanya saja,
tetapi perlu diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga semua orang yang berada
didalamnya dapat memperoleh manfaat yang sebesar besarnya dari kehidupan
bersama itu, justru dengan dimensi kesusilaan itu dapat menjadi pemersatu antara
suami dan istri sehingga antara dimensi individualitas dan kesosialan dapat
bertemu dalam satu kesatuan yang penuh makna dalam kehidupan keluarga.
Pengembangan ketiga dimensi tersebut secara optimal dapatlah dikatakan
perkembangan kehidupan manusia dengan berkebudayaan yang bertaraf tinggi,
dimana dengan ketiga dimensi itu manusia dapat hidup layak dan dapat
mengembangkan ilmu, tehnologi dan seni sehebat hebatnya bahkan dapat mengarungi
angkasa luar, tetapi ini barulah kehidupan duniawi, akan menjadi lebih sempurna
apabila dilengkapi dengan dimensi keempat yaitu religiusitas atau dimensi
keagamaan (Prayitno, 2001).
Dimensi religiusitas, pada
dimensi keagamaan ini manusia berfikir bahwa apa yang dilakukan saat ini adalah
untuk kehidupan jangka panjang, yaitu akherat, oleh karena itu segala ucapan,
tindakan selalu dikaitkan dengan Yang Maha Pencipta disanalah bermuaranya. Jika
keempat dimensi ini dapat dikembangkan secara optimal maka 34 akan lahirlah
manusia-manusia yang ideal atau sering disebut dengan manusia seutuhnya.
Bagaimana yang dimaksud
dengan manusia seutuhnya? Yang dimaksud dengan manusia seutuhnya adalah manusia
yang telah berhasil mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya yang
antara lain adalah keempat dimensi yaitu individualitas, sosialitas, moralitas
dan religiusitas, sehingga ia benar-benar mencapai kualitas keindahan dan
derajat yang setinggi tingginya dalam kehidupan di dunia juga di akhiratnya
kelak. Disamping itu manusia seutuhnya adalah manusia yang mampu menciptakan
dan memperoleh kesenangan dan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dan bagi
lingkungannya berkat pengembangan yang optimal segenap potensi yang ada pada
dirinya (dimensi individualitas) seiring dengan pengembangan suasana
kebersaamaan dengan lingkungan sosialnya (dimensi kesosialan), sesuai dengan
aturan dan ketentuan yang berlaku (dimensi kesusilaan) dan segala sesuatunya
itu dikaitkan dengan pertanggung jawaban atas segenap aspek kehidupannya di
dunia terhadap kehidupan di akherat kelak dikemudian hari (dimensi religiusitas).Citra
manusia seutuhnya adalah manusia yang sebenar benarnya; dimana manusia dengan
“aku” dan ke “diri” annya yang matang, tangguh dan dinamis, dengan kemampuan
sosialnya yang luas dan bersemangat, tetapi tetap menyejukkan, dengan
kesusilaannya yang tinggi, serta dengan keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang mendalam.
Pertimbangan lain, buku
ini dikembangkan atas dasar kebutuhan; (a) banyak siswa sekolah yang kurang
mampu mengembangkan potensinya, misalnya prestasi belajar dan bekerja kurang
memadai karena adanya hambatan dan gangguan pada system keluarga, misalnya
macetnya komunikasi antara anggota keluarga, kurangnya penghargaan, tidak
adanya support diantara anggota keluarga dan sebagainya; (b) banyak siswa dan
remaja bahkan mahasiswa yang masih kuliah menderita gangguan emosional karena
menghadapi gangguan emosional dalam system keluarga, misalnya adanya
pertengkaran diantara kedua orang tua sehingga anak sulit untuk berkonsentrasi,
adanya semangat materialistis yang tinggi dan dipaksakan akhirnya mengganggu
perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya; (c) adanya gangguan
emosional pada siswa di sekolah disebabkan karena adanya gangguan emosional
pada system relasi guru dan siswa.
Berdasarkan
pengalaman-pengalaman tersebut, banyak terjadi siswa yang mempunyai kemampuan
dasar tinggi namun hasil belajarnya amat rendah (under
achiever), demikian juga dengan adanya bakat-bakat yang masih terpendam
dalam berbagai aspek seperti: seni, teater, organisasi, jurnalistik dan
lain-lain yang semuanya ini tidak dapat berkembang karena kurang mendapatkan
penghargaan pada system keluarga atau system relasi guru-siswa di sekolah.
Kenyataan di lapangan
banyak ditemukan adanya berbagai perilaku yang menyimpang dan kenakalan
kenakalan anak atau remaja yang mana itu bukan disebabkan kenakalan anak itu
sendiri akan tetapi disebabkan oleh pola-pola perilaku emosional bahkan
neurotic yang dikembangkan dalam system keluarga tersebut.
Penanganan kasus gangguan emosional pada anak anak atau remaja
tidak bisa diselesaikan per-individu, akan tetapi dengan memberikan bantuan
atau konseling keluarga kepada seluruh anggota keluarga sebagai
komponen-komponen system yang menentukan tercapainya kesejahteraan keluarga.
Alasanya adalah bahwa penyimpangan perilaku dan gangguan emosional terjadi
dalam suatu system keluarga yang masing-masing anggotanya berkomunikasi,
berinteraksi, saling menghargai, saling mendukung dan saling membutuhkan.
Sebagaimana Perez (1979) mengatakan sebagai berikut:
It is the systems approach to family therapy which is very much
in vogue. This approach focuss on the family’s current
problems (the now is the issue). How family members
interaction closely observed by systems therapist. Neurosis,
evev psychosis in a member of family is viewed as a function
of interaction between and among the various family
members. The belief is that an individual ill health in the
result of his adaptation to the sick environment created by
the family.
Dari pernyataan tersebut
dapat disimpulkan yang mana inti sarinya adalah: sakitnya seorang anggota
keluarga adalah merupakan hasil adaptasi atau interaksinya terhadap lingkungan
yang sakit pula, yang diciptakan oleh keluarga tersebut.
Penanganan terhadap keluarga sebagai suatu system bertujuan untuk membantu anggota keluarga untuk pengembangan potensinya agar menjadi manusia yang berguna bagi keluarga dan bangsanya. Disamping itu membantu anggota keluarga yang mengalami gangguan emosi melalui system keluarga. Yaitu setiap anggota keluarga memberikan kontribusi positif dan pemahaman yang mendalam akan hakekat gangguan tersebut. Dengan kata lain keluarga adalah yang berjasa untuk membantu perkembangan anggotanya dan menyembuhkan anggota yang terganggu.
Penanganan konseling
keluarga menuntut pengalaman profesional dan wawasan nilai-nilai sosial budaya
bangsa termasuk dimensi kemanusiaan tersebut. Konseling keluarga dapat berjalan
dengan baik di Negara asalnya (AS) karena kondisi sosial budaya yang mendukung
disamping tingkat pendidikan masyarakat yang relatif baik.
Di Indonesia, konseling keluarga baru mendapat perhatian dari masyarakat terutama sejak pesatnya perkembangan kota dan industrialisasi yang cenderung dapat menimbulkan stress bagi keluarga antara lain disebabkan menggebunya anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga mereka jarang berkumpul di rumah, sehingga terjadi pergeseran nilai nilai budaya lokal yang begitu cepat, bahkan dapat menimbulkan keguncangan, sementara orang tua belum siap menerima dan masih berpegang teguh dengan nilai nilai budaya lama.
Sumber : Dra. Faizah Noer Laela, M.Si., Bimbingan Konseling Keluarga Dan remaja, 2017, UINSA PRESS (Hal. 28-38)
No comments:
Post a Comment