BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Kehidupan ini pada hakikatnya tidak bisa terlepas dari
masalah. Dimanapun manusia hidup, ia pasti akan menghadapi persoalan. Karena
hal demikian memang sudah ditetapkan oleh Allah sebagai ujian bagi manusia. Sehingga
sangat tepatlah sebuah ungkapan ini: الحياة هي سلسلة من المشكلة (bahwa hidup merupakan rangkaian dari masalah). Seluruh problem
manusia tersebut menuntut adanya penyelesaian. Akan tetapi tidak semua problem
dapat diselesaikan sendiri oleh individu, sehingga ia kadangkala membutuhkan
seorang ahli untuk memecahkan problemnya.
Dari
sini penulis ingin memaparkan tentang betapa pentingnya bimbingan PAI dalam
menyelesaikan problem-problem hidup, bagaimana karakteristik dan pendekatan
yang digunakan PAI dalam menghadapinya.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulisan makalah ini mempunyai beberapa rumusan
yaitu:
1.
Apa pengertian bimbingan dan penyuluhan PAI?
2.
Bagaimana hubungan bimbingan dan penyuluhan PAI?
3.
Seberapa penting bimbingan dan penyuluhan PAI?
4.
Bagaimana karakteristik bimbingan dan penyuluhan PAI?
5.
Apa saja pendekatan yang dipakai dalam bimbingan dan
penyuluhan PAI?
- Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, makalah ini
bertujuan untuk:
1.
Menjelaskan pengertian bimbingan dan penyuluhan PAI.
2.
Menjelaskan hubungan bimbingan dan penyuluhan PAI.
3.
Menjelaskan betapa perlunya bimbingan dan penyuluhan PAI.
4.
Menjelaskan karakteristik bimbingan dan penyuluhan PAI.
5.
Menjelaskan pendekatan yang dipakai dalam bimbingan dan
penyuluhan PAI.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bimbingan dan Penyuluhan PAI
Istilah bimbingan dan penyuluhan dipandang dari segi
terminologi berasal dari bahasa asing yaitu bimbingan dari Guidance dan
penyuluhan dari Counseling.
a. Bimbingan
Mengenai pengertian bimbingan ini Bimo walgito
mengemukakan sebagai berikut:
Bimbingan adalah merupakan bantuan atau pertolongan yang
diberikan kepada individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan dalam
hidupnya mencapai kesejahteraan. (Walgito, 1989:4)
Sejalan dengan pengertian di atas H. Koestuer
Partowisastro mengemukakan pendapat :
Bimbingan adalah bantuan yang diberikkan kepada seseorang
agar memperkembangkan potensi-potensi yang dimiliki, mengenal dirinya sendiri,
mengatasi persoalan-persoalannya sehingga dapat menentukan sendiri jalan
hidupnya secara bertanggung jawab tanpa tergantung orang lain. (Partowisastro,
1984:12)
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka yang dimaksud
dengan bimbingan adalah suatu usaha bantuan yang dilakukan oleh seseorang yang
mempunyai keahlian dan pengalaman dalam memberikan bantuan atau pertolongan
kepada individu tersebut dapat mengembangkan potensi yang dimiliki, mengenal
dirinya dan dapat bertanggung jawab.
b. Penyuluhan
Penyuluhan (counseling) menurut Dewa Ketut Sukardi adalah
bantuan yang diberikan kepada klien (counselee) dalam memecahkan
masalah-masalah kehidupan dengan wawancara yang dilakukan secara “face to
face”, atau dengan cara-cara yang sesuai dengan keadaan klien (counselee) untuk
mencapai kesejahteraan hidupnya[1].
Setelah menguraikan
beberapa defenisi bimbingan dan konseling menurut para ahli, maka penulis
menggabungkan kedua kata tersebut, yaitu antara bimbingan dan konseling
ditinjau dari segi Islam atau yang disebut bimbingan dan konseling Islam.
Aunur Rahim Faqih memberikan batasan bimbingan dan konseling Islam yaitu
sebagai berikut:
“Bimbingan dan konseling Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap
individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga
dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”.[2]
Pengertian bimbingan dan konseling Islam menurut M
Arifin adalah
“Kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka memberikan bantuan
kepada orang lain yang mengalami kesulitan-kesulitan rohaniah dalam lingkungan hidupnya agar orang tersebut
mampu mengatasinya sendiri karena timbul kesadaran atau penyerahan diri
terhadap kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga timbul pada diri pribadinya
suatu cahaya harapan kebahagian hidup saat sekarang dan dimasa yang akan
datang”.20
Dengan
demikian, bimbingan dan konseling Islam adalah suatu usaha pemberian bantuan
kepada seseorang (individu) yang mengalami kesulitan rohaniah baik mental dan
spiritual agar yang bersangkutan mampu mengatasinya dengan kemampuan yang ada
pada dirinya sendiri melalui dorongan dari kekuatan iman dan ketakwaan kepada
Allah SWT, atau dengan kata lain bimbingan dan konseling Islam ditujukan kepada
seseorang yang mengalami kesulitan, baik kesuliatan lahiriah maupun batiniah
yang menyangkut kehidupannya di masa kini dan masa datang agar tercapai
kemampuan untuk memahami dirinya, kemampuan untuk mengarahkan dan
merealisasikan dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya dengan tetap
berpegang pada nilai-nilai Islam.
B.
Hubungan
Bimbingan dan Penyuluhan PAI
Bimbingan
dan konseling (penyuluhan) merupakan istilah yang mempunyai maksud dan tujuan
yang sama. Perbedaannya adalah bimbingan itu lebih bersifat pencegahan (preventif),
pemeliharaan dan pengembangan, sedangkan dalam konseling lebih bersifat
perbaikan atau korektif. Persamaan adalah keduanya merupakan
suatu bantuan bagi individu-individu dalam menghadapi problem kedupannnya.
Sedangkan perbedaan, bimbingan lebih luas dari pada penyuluhan, bimbingan lebih
menitik beratkan pada segi-segi preventif, sedangkan penyuluhan lebih menitik
beratkan pada segi kuratif, tetapi walaupun demikian pengguanan bimbingan
selalu diikuti dengan kata penyuluhan.
C.
Pentingnya Bimbingan dan Penyuluhan PAI
Keberadaan bimbingan dan penyuluhan di sekolah harus
mendapatkan perhatian istimewa terhadap generasi muda. Karena manfaatnya adalah
sangat besar bagi pemantapan hidup bagi generasi muda kita dalam berbagai
bidang yang menyangkut ilmu pengetahuan. Ketrampilan dan sikap mental generasi
muda. Apalagi mengingat bahwa generasi mda perlu dibina secara intensif sesuai
dengan cita-cita yang terkandung dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yang
menyatakan bahwa generasi muda harus dibina agar menjadi generasi pengganti
dimasa mendatang yang harus lebih baik, lebih bertanggung jawab dan lebih mampu
mengisi serta membina kemerdekaan Bangsa.
Dengan adanya bimbingan dan penyuluhan di sekolah
diharapkan generasi muda menjadi generasi yang mampu bermanfaat baik bagi
dirinya sendiri maupun bagi masyarakat serta bagi bangsa dan negara. Manusia
diciptaka oleh Allah SWT untuk menjadi manusia yang bermanfaat baik bagi
dirinya maupun umatnya. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110
yaitu:
كُنْتُمْ خَيْرَ
أُمَّةِ أُخْرِجَتْ لِنَّاسِ تَعْمُرُوْنَ بِالمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
المُنْكَرِ وَتُأمِنُوْنَ بِاللهِ
Artinya :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah …
(QS. Ali Imron: 110)[3].
Untuk menjadi generasi yang mampu bermanfaat baik dirinya
sendiri maupun bagi masyarakat serta bagi bangsa dan negara, maka perlu kiranya
diperkenalkan kepada anak didik seperangkat ajaran yang mewajibkan kita untuk
senatiasa belajar, khususnya dalam bidang agama, sebagaimana Firman Allah SWT
dalam surat At-Taubah ayat 102 :
وَءَاخَرُوْنَ
اعْتَرَفُوْا بِذُنُوْبِهِمْ خَلَطُوْا عَمَلًا صَالِحَا وَءَاخَرَ سَيِّأًعَسَى
اللهُ أَنْيَتُوْبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Artinya : Dan (ada pula) orang-orang lain yang
mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan
pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang. (QS.
At-Taubah: 102)[4].
Juga dalam QS. At-Taubah: 122:
Artinya: Tidak sepatutnya
bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya. (QS. At-Taubah:122)
Rosulullah SAW bersabda:
طلب العلم فريضة
على كل مسلم
Artinya: Menuntut
Ilmu itu wajib bagi setiap muslim
Ayat dan hadits diatas memberikan gambaran tentang
pentingnya pembahasan terhadap agama yang kita peroleh dalam proses belajar
mengajar, baik lewat pendidikan luar sekolah (Sekolah dan Masyarakat).
Secara ekspisit ayat tersebut juga mengisyaratkan
perintah langsung kepada petugas bimbingan dan penyuluhan untuk memberikan
penyuluhan yang baik kepada para siswanya. Sebab seperti yang pernah kita
jelaskan di atas, baik keberadaan bimbingan kepada para siswa untuk pemantapan
hidup dalam berbagai bidang.
Petugas bimbingan dan penyuluhan yang keberadaannya
disamping sebagai badan yang bertugas memberikan bimbingan kepada para siswa
juga sebagai guru yang memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik kepada
siswa. Sehingga tanggung jawab petugas bimbingan dan penyuluhan menjadi ganda
dan variatif atau sebagai pengajar mata pelajaran dan sebagai pendidik agama
dan akhlaq yang baik.
D.
Karakteristik Bimbingan dan Penyuluhan PAI
Pada
hakikatnya bimbingan konseling PAI bukanlah merupakan hal yang baru, tetapi ia
telah ada bersamaan dengan diturunkannya ajaran Islam kepada Rasulullah SAW
untuk pertama kali. Ketika itu ia merupakan alat pendidikan dalam sistem
pendidikan Islam yang dikembangkan oleh Rasulullah.[5]
Secara sepiritual bahwa Allah memberi petunjuk (bimbingan) bagi peminta
petunjuk (bimbingan). Sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an, sebagai berikut:
Artinya: “Barangsiapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu
tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk
kepadanya”. (QS. Al-Kahfi: 17)
Jika
perjalanan sejarah pendidikan Islam ditelusuri secara teliti dan cermat sejak
masa Nabi hingga saat ini, akan ditemukan bahwa layanan bimbingan dalam bentuk
konseling merupakan kegiatan yang menonjol dan dominan. Praktik-praktik Nabi
dalam menyelesaikan problem-problem yang dihadapi oleh para sahabat ketika itu,
dapat dicatat sebagai suatu interaksi yang berlangsung antara konselor dan
klien/konseli, baik secara kelompok (misalnya pada model halaqah ad-dars)
maupun secara individual.
Karakter
bimbingan konseling PAI ini pada hakikatnya berorentasi pada ketentraman hidup
manusia dunia – akhirat. Bimbingan konseling PAI memiliki perbedaan yang
esensial dengan bimbingan konseling Barat. Karena bimbingan konseling PAI
tersebut merupakan wujud aktualisasi kelengkapan dan kesempurnaan ajaran Islam
itu sendiri.[6]
Sehubungan ini, dapat dilihat pendapat Hasan Muhammad asy-Syarqawi yang
memaparkan perbedaan antara psikologi Islam dan psikologi Barat. Perbedaan itu
terletak pada sikap penyerahan total kepada Allah dengan keimanan demi
terwujudnya kesehatan jiwa. Dengan senantiasa mempedomani petunjuk-petunjuk
Allah, hati manusia akan menjadi tentram karena disinari oleh cahaya Ilahi.[7]
Allah berfirman:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram”. (QS. Ar-Ra’d: 28)
E.
Pendekatan dalam Bimbingan dan Penyuluhan PAI
Pendekatan
disini dimaksudkan sebagai upaya bagaimana klien/konseli diperlakukan dan
disikapi dalam penyelenggaraan bimbingan PAI[8],
yakni:
1)
Pendekatan fitrah
Pendekatan
ini memandang bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi untuk hidup sehat
secara fisik dan mental serta berpotensi untuk sembuh dari sakit yang
dideritanya (fisik dan mental), disamping memiliki potensi untuk berkembang.
Pendidikan baginya adalah suatu pengembangan atas potensi-potensi yang ada,
agar ia semakin dekat dengan Allah dan semakin sadar akan tanggungjawabnya
sebagai pengemban amanah dan misi khilafah.
Dalam
hal ini, al-Ghazali mengemukakan bahwa semua anak cucu Adam difitrahkan beriman
dan mengetahui Allah SWT sesuai dengan fitrahnya. Keterangan nash dalam
hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an surah ar-Rum ayat 30, berikut:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Rum: 30)
Dalam
ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa manusia dijadikan manurut fitrah Allah.
Yakni Allah menciptakan manusia dengan dibekali naluri beragama, yaitu agama
tauhid. Jika pada akhirnya manusia tidak beragama tauhid lagi, adalah karena
pengaruh lingkungan. Lebih lanjut, Muhammad Fadil al-Jamali mengemukakan bahwa
setiap individu memiliki kemampuan-kemampuan dasar dan
kecenderungan-kecenderungan yang murni (fitrah). Fitrah ini lahir dalam bentuk sederhana
dan terbatas, kemudian dapat tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik atau
sebaliknya sesuai dengan hal-hal yang mempengaruhinya.[9]
Karena
manusia itu dapat tumbuh dan berkembang menjadi baik atau tidak baik, maka
manusia harus dihindarkan dari segala sifat yang dapat mencemari fitrahnya. Problem-problem
yang merupakan kendala bagi baiknya perkembangan fitrah itu diselesaikan
melalui proses bimbingan konseling Islami. Untuk itu, individu dibantu
menemukan fitrahnya, sehingga dapat selalu dengan Allah dan dibimbing untuk
mengembangkan dirinya, agar mampu memecahkan masalah kehidupannya, serta dapat
melakukan self counseling dengan bimbingan Allah SWT.
2)
Pendekatan sa’adah mutawazinah
Sebagaimana
diketahui bahwa Islam mengajarkan hakikat kebahagiaan dunia adalah untuk
kebahagiaan akhirat, dan Islam bukanlah hanya agama akhirat semata, serta bukan
pula hanya sebagai agama dunia semata, melainkan agama dunia akhirat (lihat QS.
Al-Qhashas: 77). Oleh karena itu, kesinambungan sa’adah (kebahagiaan) di
dunia dan akhirat merupakan kesempurnaan Islam. Sa’adah yang dimaksudkan
oleh Islam bukan hanya terfokus pada kekinian saja, melainkan untuk kekinian
dan nanti. Islam memandang saat kini adalah persiapan untuk masa nanti.
Firman
Allah dalam surah al-Baqarah ayat 201 yang senantiasa dimohonkan oleh manusia
dalam setiap do’anya, jelas menunjukkan tujuan hidup manusia adalah menggapai dua
segi kebahagiaan sekaligus. Kebahagiaan hidup di akhirat adalah kebahagiaan
utama dan hakiki, tetapi jembatan ke arah itu adalah kebahagiaan hidup di
dunia.
Sehubungan
dengan ini, al-Ghazali memberikan interpretasi terhadap lafadz ayat 201 surah
al-Baqarah tersebut. Fid-dunya hasanah, maksudnya adalah ilmu dan
ibadah, sedangkan wa fil akhirati hasanah adalah surga. [10]
Dengan demikian, dunia yang diistilahkan al-Ghazali dengan mazra’ah
al-akhirah bermakna bahwa ilmu dan ibadah di dunia dimaksudkan untuk mencapai
kebahagiaan akhirat (surga).
Sebagaimana
diketahui bahwa upaya bimbingan konseling Islami adalah untuk memecahkan dan
menyelesaikan masalah kehidupan dunia, dan untuk itulah ia diperlukan. Oleh
karena itu, penyelesaian problem yang dihadapi klien/konseli adalah dalam upaya
memperoleh ketentraman hidup di dunia dan dengan ketentraman itu klien/konseli
dapat memahami kembali jati dirinya serta sekaligus menjadi dekat dengan Allah
SWT. Hal demikian merupakan cerminan sa’idah mutawazinah yang hakiki, dan
dijadikan prinsip penyelenggaraan bimbingan konseling Islami.
3)
Pendekatan kemandirian
Pendekatan
ini dilakukan atas dasar nilai yang dimaknai bersumber dari asas kerahasiaan.
Upaya pemahaman kembali konsep diri bagi klien/konseli hendaknya dilakukan oleh
konselor dengan membangkitkan rasa percaya diri mereka, sehingga merasa mampu
untuk menyelesaikan masalahnya secara mandiri. Rasa percaya diri dan sikap
kemandirian merupakan fenomena pemahaman tentang dirinya, dan salah satu hasil
sebagaimana yang ingin dicapai dari layanan bimbingan dan konseling yang
diberikan.
Dengan
mengutip pendapat C.G. Wrenn, Dewa Ketut Sukardi mengemukakan: hendaknya
konselor mampu mengarahkan klien/konseli untuk memecahkan masalahnya
berdasarkan penentuan diri sendiri.[11]
Inti
pendapat tersebut di atas mengandung perlunya upaya mengaktualisasikan konsep
kemandirian dalam proses bimbingan dan penyuluhan PAI. Sedangkan konsep
kemandirian dalam Islam antara lain tertuang dalam al-Qur’an surah ar-Ra’d ayat
11 berikut:
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka
sendiri”. (QS. Ar-Ra’d: 11)
Dalam
ayat tersebut Allah dengan tegas menyatakan bahwa manusia tidak akan mencapai
kebaikan/kemajuan jika mereka tidak mau berusaha ke arah itu dan tidak akan
memperoleh sesuatu selain dari apa yang diusahakannya.
Dengan
demikian, upaya membiasakan klien/konseli untuk bertanggungjawab secara
mandiri, sangat dituntut dalam penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan PAI.
Pada gilirannya, diharapkan klien/konseli dapat menyadari bahwa
pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah pertanggungjawaban pribadi. Konselor
harus dapat meyakinkan klien/konselinya bahwa kemandirian dan
pertanggungjawaban pribadi itu adalah salah satu kunci hidup di dunia yang mazra’ah
al-akhirah.
4)
Pendekatan keterbukaan
Keterbukaan di sini dimaksudkan bahwa
konseling Islami berlangsung dalam suasana keterbukaan, baik di pihak
klien/konseli maupun di pihak konselor. Klien/konseli menyampaikan keluhan
secara terbuka agar konselor dapat mengidentifikasi permasalahan untuk
ditemukan jalan keluarnya. Konseling tidak dapat berproses secara wajar jika
salah satu atau keduanya tidak saling terbuka, dan keterbukaan harus
berlangsung dengan disertai sikap saling mempercayai. Hanya dengan jiwa yang
terbuka manusia dapat menerima pendapat atau nasihat orang lain.
Menurut
M.D. Dahlan, klien/konseli memiliki kebebasan penuh menyatakan perasaannya.
Oleh karena itu, konseling hendaklah diciptakan dengan suasana yang santai,
agar klien/konseli tersebut mau mengungkapkan segala permasalahannya.[12]
Atas dasar itu tentunya harus dijalin hubungan konseling sedemikian rupa dimana
klien/konseli merasa yakin bahwa konselor bersikap terbuka, tetapi kerahasiaan
tetap terpelihara.
Islam
sangat menganjurkan keterbukaan dan mengecam ketertutupan. Dalam surah
al-Baqarah ayat 146 Allah berfirman:
Artinya: “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah
Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) Mengenal Muhammad seperti mereka mengenal
anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan
kebenaran, padahal mereka mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 146)
Dalam
ayat tersebut Allah mengecam orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menyembunyikan
kebenaran. Walhasil, dalam proses bimbingan PAI klien/konseli harus terbuka dan
jujur dalam menyampaikan keluhan dan pertanyaan, sedangkan konselor harus
terbuka dan terus terang pula menyampaikan jalan keluar pemecahan masalah
tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan materi di atas dapatlah diambil beberapa kesimpulan, sebagai
berikut:
1.
“Bimbingan dan konseling Islam adalah proses pemberian
bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan
petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat”.
2.
Bimbingan dan konseling (penyuluhan) merupakan istilah yang
mempunyai maksud dan tujuan yang sama.
3.
Keberadaan
bimbingan dan penyuluhan di sekolah harus mendapatkan perhatian istimewa
terhadap generasi muda. Karena manfaatnya adalah sangat besar bagi pemantapan
hidup bagi generasi muda kita dalam berbagai bidang yang menyangkut ilmu
pengetahuan.
4.
Karakter bimbingan konseling PAI ini pada hakikatnya
berorentasi pada ketentraman hidup manusia dunia – akhirat.
5.
Ada beberapa pendekatan yang bisa ditempuh dalam
melakukan bimbingan dan penyuluhan PAI, antara lain:
a.
Pendekatan fitrah
b.
Pendekatan sa’adah mutawazinah
c.
Pendekatan keterbukaan
d.
Pendekatan kemandirian
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Saiful Akhyar. 2007. Konseling Islami: Kyai & Pesantren. Yogyakarta:
eLSAQ Press.
Az-Zahrani, Musafir bin Said. 2005. Konseling Terapi. Jakarta: Gema
Insani.
Sukardi, Dewa Ketut. 1983. BIMBINGAN DAN PENYULUHAN. Surabaya: Usaha
Nasional.
Faqih, Aunur Rahim. 2001. Bimbingan dan Konseling
dalam Islam. Yogyakarta: UII Press.
Rahmawati, Fenti. 2010. Bimbingan Konseling.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Departemen Agama RI. 1989. Al Qur’an dan Tejemahannya.
Surabaya:Mahkota.
[1] Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan
dan Penyuluhan Belajar di Sekolah, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional,
1983), hlm 66.
[2]
Aunur Rahim Faqih, Bimbingan dan Konseling dalam Islam (Cet.II;
Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 12.
[3] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan
Tejemahannya, (Surabaya:Mahkota, 1989),hal. 94
[4] Ibid, hal.320
[5] Saiful Akhyar Lubis, Konseling Islami:
Kyai & Pesantren, (Yogyakarta: eLSAQ Press), hal. 80.
[6] Ibid, hal. 86.
[7] Ibid, hal. 87.
[8] Ibid, hal. 126.
[9] Ibid, hal. 127.
[10] Ibid, hal. 127.
[11] Ibid, hal. 128.
[12] Ibid, hal. 130.
No comments:
Post a Comment