A. Pendahuluan
Konselor merupakan orang yang
melakukan proses konseling kepada kliennya. Keberhasilan seorang konselor tidak
hanya ditentukan oleh kemampuannya dalam memahami konsep-konsep konseling an
sich, akan tetapi sangat ditentukan akhlak seorang konselor. Hal ini juga tidak
terlepas dari keberhasilan Rasulullah SAW dalam menerapkan dakwah
islamiyyah—yang di dalamnya juga terdapat proses konseling—amat didukung oleh
kemuliaan akhlaknya.
Dengan demikian, akhlak seorang konselor sangat dibutuhkan dalam menentukan keberhasilan proses konseling yang ia lakukan, terutama dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, makalah yang sederhana ini akan berupaya untuk menguraikan akhlak konselor dalam kajian Islam.
B. Akhlak Konselor dalam Islam
Sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya bahwa seorang konselor harus memiliki akhlak yang mulia.
Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik, sebab pelayanan
bimbingan dan konseling berkaitan dengan pembentukan perilaku dan kepribadian
klien. Melalui konseling diharapkan terbentuk perilaku positif (akhlak baik)
dan kepribadian yang baik pula pada diri klien. Upaya ini akan efektif apabila
dilakukan oleh seseorang yang memiliki kepribadian dan akhlak yag baik pula.
Selain itu, praktik bimbingan dan konseling berlandaskan atas norma-norma
tertentu. Dengan kepribadian yang baik, diharapkan tidak terjadi pelanggaran
terhadap norma-norma yang bisa merusak citra pelayanan bimbingan dan konseling.
Dalam keadaan tertentu seorang
konselor bisa menjadi model atau contoh yang baik bagi penyelesaian masalah
siswa (klien). Dalam konteks ini ada teori counselling by modeling, yaitu
konseling melalui percontohan. Konselor bisa menjadi contoh yang efektif bagi
pemecahan masalah kliennya. Konselor tidak akan dapat menjalankan fungsi ini
apabila dirinya tidak memiliki kepribadian yang baik. Misalnya konselor akan
sulit mengubah perilaku siswa yang tidak disiplin apabila ia sendiri tidak
dapat menunjukkan perilaku disiplin kepada para siswa. Konselor akan sulit mengubah
sifat siswa yang emosional apabila ia sendiri adalah orang yang emosional dan
seterusnya.
Dalam praktik bimbingan dan
konseling di lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, syarat ini menjadi
lebih urgen. Sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang dalam praktik
pendidikan dan pembelajarannya dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam, maka
praktik pelayanan bimbingan dan konselingnya pun harus dijiwai dan dilandasi
oleh nilai-nilai ajaran Islam. Salah satu nilainya adalah pembimbing atau
konselornya harus berakhlak baik (memiliki akhlak al karimah).
Praktik bimbingan konseling harus dijiwai dan dilandasi oleh
nilai-nilai ajaran Islam yang mengacu kepada praktik bimbingan dan
kon¬selingnya Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. adalah sosok pemecah masalah umat
yang paling efektif. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. merupakan konselor pertama
dalam Islam yang membimbing, mengarahkan, menuntun dan menasihati umat agar
beriman kepada agama Tauhid (Islam). Melalui bimbingan, arahan, tuntunan dan
nasihatnya, manusia memperoleh kebahagiaan hidup baik di dunia dan akhirat
Kepribadiannya mantap dapat menjadi contoh teladan yang baik bagi pemecahan
masalah para sahabat ketika itu. Hal ini relevan dengan firman Allah SWT:
Artinya: Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah. (Qs. al-Ahzab/33: 21)
Kepribadian yang baik dalam
konteks Islam ditandai dengan kepemilikan iman, ma'rifah, dan tauhid. Dengan
demikian seorang pembimbing atau konselor terutama yang berpraktik di
lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memiliki keimanan, kemakrifatan, dan
ketauhidan yang berkualitas. Kemakrifatan penting dimiliki dalam kaitannya
untuk bersimpati dan berempati terhadap klien (siswa). Kepribadian yang baik
juga ditandai dengan dimilikinya aspek moralitas yang baik pada diri pembimbing
(konselor) seperti nilai-nilai, sopan santun, adab, etika, dan tata krama yang
dilandaskan pada ajaran agama Islam. Intinya tanpa kepribadian yang baik dari
guru pembimbing (konselor), tujuan pelayanan bimbingan dan konseling akan sulit
dicapai secara efektif.
Selain keterangan di atas, akhlak seorang konselor dapat
dirumuskan dengan melihat asas-asas yang ada dalam proses konseling tersebut.
Thohari Musnamar menyebutkan bahwa asas-asas dalam konseling adalah:
1. Asas kebahagiaan dunia dan akhirat
2. Asas komunikasi dan musyawarah
3. Asas manfaat
4. Asas kasih sayang
5. Asas menghargai dan menghormati
6. Asas rasa aman
7. Asas ta'awun (tolong menolong) atau kerja sama
konstruktif
8. Asas toleransi
9. Asas keadilan
Dari beberapa asas di atas, dapat dikembangkan dan
dirumuskan bahwa seorang konselor Islami harus mememiliki akhlak sebagai
berikut.
a. Berkomunikasi secara baik
Dalam melakukan konseling, perlu dilakukan dengan komunikasi
yang baik. Tanpa komunikasi yang baik, niscaya pesan yang diinginkan sulit
menimbulkan efek yang positif terhadap klien. Dalam al-Qur'an, terdapat
beberapa isyarat tentang pola-pola komunikasi yang ditunjukkan dalam beberapa
istilah seperti tabel berikut ini:
1.
Qawlan ma'rufan (Al-Baqarah: 263; An-Nisa': 8;
Al-Ahzab: 32) maksudnya Perkataan yang baik Bahasa yang sesuai dengan tradisi,
bahasa yang pantas atau cocok untuk tingkat usianya; bahasa yang dapat diterima
akal untuk tingkat usia.
2.
Qawlan kariman (Al-Isra': 23) maksudnya
Perkataan yang mulia Bahasa yang memiliki arti penghormatan, bahasa yang enak
didengar karena terdapat unsur-unsur kesopanan.
3.
Qawlan maysuran (Al-Isra': 28) maksudnya
Perkataan yang pantas Bahasa yang dimengerti, bahasa yang dapat menyejukkan
perasaan.
4.
Qawlan balighan (An-Nisa: 63) maksudnya
Perkataan yang mengena/ mendalam Bahasa yang efektif, sehingga tepat sasaran
dan tujuannya, bahasa yang efisien, sehingga tidak membutuhkan banyak biaya,
waktu dan tempat.
5.
Qawlan layyinan (Thaha: 44) maksudnya Perkataan
lemah lembut Bahasa yang halus, sehingga menembus relung kalbu, bahasa yang
tidak menyinggung perasaan orang lain, bahasa yang baik dan enak didengar.
6.
Qawlan sadid (An-Nisa': 9) maksudnya Al-Ahzab:
70 Perkataan benar dan berimbang Bahasa yang benar, bahasa yang berimbang
(adil) dari kedua belah pihak.
7.
Qawlan azhima (Al-Isra': 80) maksudnya Perkataan
yang berbobot Bahasa yang mendalam materinya, bahasa yang berbobot isinya.
8.
Qawlan min rabb rahim (Yasin: 58) maksudnya
Perkataan rabbani Bahasa yang isinya bersumber dari Tuhan, bahasa yang yang
mengandung pesan Tuhan.
9.
Qawlan tsaqila (Al-Muzammil: 5) maksudnya
Perkataan yang berat Bahasa yang berbobot yang mengandung informasi kewajiban
manusia, syariah, halal-haram, hukum pidana-perdata.
10.
Bahasa di atas dapat digunakan melihat kondisi
dan psikologi klien sehingga tujuan dari proses konseling dapat tercapai dengan
baik.
b. Kasih Sayang
Kasih sayang (rahmah) adalah
sifat yang wajib dimiliki oleh setiap konselor. Karenanya orang yang hatinya
keras tidak layak menjadi konselor. Sebab, kasih sayang yang merupakan gerakan
kalbu adalah modal perasaan yang secara otomatis bisa mendorong pendidik, dan
menolak untuk tidak suka meringankan beban orang yang didik.
Dari beberapa literatur sejarah, banyak ditemukan kisah
Rasulullah SAW yang menyayangi keluarga dan para sahabatnya. Rasulullah SAW
pernah memendekkan shalatnya hanya karena kasih sayang beliau kepada seorang
ibu yang merasakan kepedihan atas tangisan bayinya ketika shalat sedang
berlangsung. Hadis ini diriwayatkan Anas bin Malik r.a., dia bekata:
مَاصَلَّيْتُ وَرَاءَ اِمَامٍ قَطُّ اَخَفَّ صَلاَةً وَلاَ اَتَمَّ
مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاِنْ كَانَ يَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِىِّ
فَيُخَفِّفَ مَخَافَةَ اَنْ تُفْتَنَ اُمُّهُ.
Artinya: "Saya tidak pernah
shalat di belakang iman yang lebih ringan dan lebih sempurna dari pada Nabi
SAW. Dan pernah beliau mendengar tangis seorang bayi lalu mempercepatnya karena
khawatir ibunya terganggu." (H.R. Bukhari)
Begitu pula dalam mendidik, Rasulullah SAW senantiasa
mendidik para sahabatnya dengan penuh kasih sayang. Dalam suatu majlis,
umpamanya, jika ada sahabat yang tidak datang, maka beliau akan
mempertanyakannya. Hal ini pernah terjadi dengan sahabatnya Tsabit bin Qays.
Suatu ketika Tsabit bin Qays tidak mau datang ke majlis Nabi SAW karena merasa
bersalah dimana beliau pernah meninggikan suaranya di hadapan Nabi, sementara
beliau mempertanyakan ketidakhadiran Tsabit. Rasulullah SAW tidak berhenti
bertanya di situ saja, tetapi ia mengutus sahabat lain untuk menanyakan
keadaannya. Setelah di utus, Tsabit pun menolak lalu menjelaskan rasa
bersalahnya. Mendengar jawaban itu, Nabi pun kembali menyuruh sahabat untuk
kedua kalinya dengan membawa kabar gembira yang luar biasa, dan Rasulullah SAW:
إِذْهَبْْ إِلَيْهِ فَقُلْ: إِنَّكَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ
وَلَكِنْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Artinya: ”Pergilah kepadanya dan
katakan, 'Sesungguhnya anda bukan termasuk penghuni neraka, tetapi termasuk penghuni
surta". (H.R. Bukhari)
Sikap kasih sayang dalam mendidik ini, juga diakui oleh para
pemuda yang pernah ia ajari, seperti Malik bin Huwairits r.a., ia berkata:
أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ
شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُوْنَ, فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِيْنَ يَوْمًا وَلَيْلَةً, وَكَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيْمًا رَفِيْقًا, فَلَمَّا ظَنَّ
أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا, أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا, سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا
بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ, قَالَ: (إِرْجِعُوْا إِلَى اَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ
وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ). وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا:
(وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُُصَلِّي, فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ
لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ).
Artinya: "Kami mendatangi Rasulullah SAW dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama 20 malam. Rasulullah SAW adalah seorang penyayang. Ketika beliau menduga kami telah menghendaki ingin pulang dan rindu keluarga, beliau menanyakan tentang orang-orang yang kami tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau bersabda: 'Kembalilah kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan suruhlah mereka.' Beliau menyebutkan hal-hal yang saya hafal dan tidak saya hafal. 'Dan shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. Bila (waktu) shalat tiba, maka hendaklah salah satu dari kalian adzan dan yang paling dewasa menjadi iman." (H.R. Bukhari)
Perilaku kasih sayang turut menentukan keberhasilan seorang konselor dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada klien sehingga ditemukan problem solving yang efektif.
c. Lemah Lembut
Sikap lemah lembut merupakan sikap yang tidak bisa
dipisahkan dari sikap kasih sayang yang harus dimiliki oleh seorang konselor.
Demikian halnya Rasulullah SAW, sebagai konselor umat sepanjang zaman, juga
memiliki akhlak yang lemah lembut. Akhlak ini memang telah dianugerahkan Allah
kepada para Nabi-Nya, firman-Nya:
Artinya: Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka...
Dalam mendidik para sahabatnya, Rasulullah SAW senantiasa
memperlihatkan sikap yang lemah lembut ini. Hal ini diakui oleh Umar bin Abi
Salamah r.a., ia berkata: "Saya masih kecil dan berada di dalam asuhan
Rasulullah SAW. Tanganku mengambil dengan acak (makanan) di nampan (piring
besar yang cukup untuk lima orang). Maka Rasulullah SAW bersabda kepadaku:
يَاغُلاَمُ سَمِّ اللهِ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
Artinya: 'Wahai anak, bacalah
Bismillah. Makanlah dengan tangan kanan dan makanlah yang dekat denganmu."
Jika dilihat dari bahasa yang ucapkan Rasulullah SAW, begitu
santun dan lemah lembutnya bahasa itu. Ucapan itu pun amat berpengaruh pada
diri Umar bin Abi Salamah dengan pengakuannya:
فَمَازَالَتْ تِلْكَ طُعْمَتِيْ بَعْدُ
Artinya: Senantiasa seperti inilah cara makanku setelah itu" (H.R. Bukhari)
d. Sabar (patience)
Sabar adalah bekal setiap
konselor. Seorang pendidik (konselor) yang tidak berbekal kesabaran, ibarat
musafir yang melakukan perjalanan tanpa bekal. Bisa jadi dia akan gagal, atau
kembali sebelum sampai ke tempat tujuan.
Melalui kesabaran konselor dalam proses konseling dapat
memban-lu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor
menunjukkan lebih memperhatikan diri klien daripada hasilnya. Konselor yang
sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku yang tidak
tergesa-gesa.
Mengenai kesabaran nabi SAW
juga, al-Qarni menyebutkan bahwa beliau menjadi contoh yang ideal dalam
kelapangan dada, kesabaran yang agung, ketabahan yang besar, dan ketegaran
hati. Begitu juga dalam mendidik dan memberikan konseling kepada para
sahabatnya, Nabi Muhammad SAW senantiasa bersabar dalam menghadapi mereka.
e. Tawadhu’
Untuk menggugah simpati klien, sifat tawadhu' dari seorang
konselor juga diperlukan. Dengan sifat tawadhu' akan menambahkan keakraban
antara keduanya. Sifat ini juga tampak dalam diri Rasulullah SAW sehingga ia
dikenal sebagai guru yang tawadhu’. Hal itu dapat dilihat dari sikap ketika
memasuki suatu majlis, beliau tidak suka disambut atau dihormati dengan cara
berdiri. Dari Anas bin Malik r.a. dijelaskan:
لَمْ يَكُنْ شَخْصُ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَكَانُوْا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُوْمُوا لِمَا
يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهَتِهِ لِذَلِكَ
Artinya: Tidak ada yang paling
dicintai oleh para sahabat melebihi Rasulullah SAW. Lalu Anas berkata:
"Walau demikian ketika melihat Rasulullah SAW mereka tidak berdiri, karena
mengetahui bahwa beliau (Rasulullah) tidak menyukai hal itu”. (H.R. Imam
at-Tirmidzi)
Dalam arti yang lebih luas,
hadis ini menggambarkan bahwa sikap yang ditampilkan Rasulullah SAW tersebut
juga perlu diaktualisasikan dalam proses konseling.
f. Toleransi
Dalam melaksanakan konseling, seorang konselor juga dituntut
untuk bersikap toleran terhadap kliennya. Hal ini selalu dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Misalnya, toleransi nabi terlihat dalam hadis tentang orang
yang bersetubuh di siang hari Ramadhan dalam keadaan puasa. Hadis ini
diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ, إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَارَسُولَ اللهِ, هَلَكْتُ. قَالَ: مَالَكَ؟
قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِيْ وَأنَا صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَالَ: َلا. قَالَ: فَهَلْ
تَسْتَطِيْعُ أَنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لا. فَقَالَ: فَهَلْ
تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا؟ قَالَ: لا, قَالَ: فَمَكُثَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَبَينَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهَا تَمْرٌ, قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ؟ فَقَالَ:
أنَا. قَالَ: خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ. فَقَالَ الَّرجُلُ: أَعَلَ أَفْقََر مِنِّي
يَارَسُوْلَ اللهِ؟ فَوَ اللهِ مَابَيْنَ َلابَتَيْهَا, يُرِيْدُ الْحَرَّتَيْنِ, أَهْلُ
بَيْتِ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي. فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ.
Artinya: "Ketika kami duduk di sisi Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seseorang lalu berkata: 'Ya Rasulullah, celakalah aku'. Rasul bertanya: 'Apa yang mencelakakanmu?' Ia menjawab: 'Saya menggauli istri Saya, sedangkan Saya berpuasa (Ramadhan). Rasulullah SAW bertanya: 'Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak?' Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa berpuasa dua bulan berturut-turut?', Ia menjawab: 'Tidak', Rasulullah SAW bertanya lagi: 'Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang miskin?' Ia pun menjawab: 'Tidak'. Berkata Abu Hurairah, 'Maka pergi Nabi SAW, sesaat kemudian kami melihat Nabi SAW datang membawa sekerangjang kurma', Nabi bertanya: 'Manakah orang yang bertanya tadi?' Maka dia menjawab: 'Saya', Bersabda Nabi: 'Ambillah olehmu kurma ini, maka sedekahkanlah' Maka bertanya laki-laki itu: 'Apakah ada orang yang lebih faqir dariku wahai Rasulullah? Maka demi Allah, tidak ada orang di antara dua bukit (kota Madinah) yang lebih faqir dari pada keluargaku'. Maka tertawalah Nabi SAW sehingga kelihatan giginya, lalu ia bersabda: 'Berilah makan keluargamu dengannya'". (H.R. Bukhari)
Dua hadis di atas menunjukkan
kebijaksanaan sekaligus sikap toleransi Nabi kepada para sahabatnya yang sedang
bermasalah dan meminta agar Rasul membantunya untuk menyelesaikan persoalan
tersebut. Kemudian Nabi SAW memahami kondisi dan kemampuan masing-masing
sahabat dan tidak menerapkan hukum yang kaku tanpa melihat persoalan yang
sesungguhnya. Begitulah Rasulullah SAW membina kepribadian sahabat sehingga
mereka taat melaksanakan risalah yang dibawanya dengan suka hati, tanpa merasa
terpaksa.
g. Demokratis dan
Terbuka
Sebagai seorang konselor yang bijaksana, juga diperlukan sikap toleransi yang tinggi kepada klien. Perlu pula keterbukaan antara keduanya sehingga berbagai persoalan yang dihadapi oleh klien dapat diselesaikan.
h. Jujur (honesty)
Yang dimaksud jujur di sini adalah bahwa konselor itu
bersikap transparan (terbuka), autentik, dan asli (genuine). Sikap jujur ini
penting dalam konseling, karena alasan-alasan berikut.
1) Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untiik
menjalin hubungan psikologis yang lebih dekat satu sama lainnya di dalam proses
konseling; Konselor yang menutup atau menyembunyikan bagian-bagian dirinya
terhadap klien dapat menghalangi terjadinya relasi yang lebih dekat. Kedekatan
hubungan psikologis sangat penting dalam konseling, sebab dapat menimbulkan
hubungan yang langsung dan terbuka antara konselor dengan klien. Apabila
terjadi ketertutupan dalam konseling dapat menyebabkan merintangi perkembangan
klien.
2) Kejujuran memungkinkan konselor dapat memberikan umpan balik secara objektif kepada klien.
i. Dapat Dipercaya
(Trustworthiness/amanah)
Kualitas ini berarti bahwa konselor itu tidak menjadi
ancaman atau penyebab kecemasan bagi klien. Kualitas konselor yang dapat
dipercaya sangat penting dalam konseling, karena beberapa alasan, yaitu sebagai
berikut:
1)
Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien
untuk mengemukakan masalah dirinya yang paling dalam. Dalam hal ini, klien
harus merasa bahwa konselor itu dapat memahami dan mau menerima curahan hatinya
(curhatnya) dengan tanpa penolakan. Jika klien tidak memiliki rasa percaya ini,
maka rasa prustasilah yang menjadi hasil konseling.
2)
Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter
dan motivasi konselor. Artinya klien percaya bahwa konselor mempunyai motivasi
untuk membantunya.
3)
Apabila klien mendapat penerimaan dan
kepercayaan dari konselor, maka akan berkembang dalam dirinya sikap percaya
tnrhadap dirinya sendiri.
Hal ini relevan dengan ajaran al-Qur'an yang menuntut
manusia untuk bersifat amanah.
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh, (Qs. al-Ahzab/33: 72)
j. Adil
Seorang konselor harus bersikap
adil dalam melakukan proses konseling kepada kliennya. Prinsip keadilan ini
sangat penting memahami masalah yang dihadapi klien lalu memperlakukannya
sesuai dengan prinsip keadilan itu sendiri.
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. surat al-Maidah/5 ayat 8)
C. Penutup
Demikianlah uraian makalah ini
tentang akhlak seorang konselor dalam kajian Islam. Akhlak ini perlu dimiliki
oleh setiap konselor sehingga pelaksanaan konseling dalam berjalan dengan baik
dan masalah yang dihadapi oleh klien teratasi secara efektif dan efisien.
Akhlak konselor tentunya berlandaskan kepada ajaran Islam
itu sendiri, yaitu al-Qur'an dan hadis. Dalam al-Qur'an dan hadis, ditemukan
beberapa akhlak yang perlu dimiliki oleh seorang konselor, seperti
berkomunikasi dengan baik, kasih sayang, jujur, amanah, adil, sabar, tawadhu',
toleransi, dan sebagainya. Hal ini juga relevan dengan asas-asas dalam
konseling itu sendiri.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurrahman, Hafidz, Membangun Kepribadian Pendidik Umat,
Ketauladanan Rasulullah SAW di Bidang Pendidikan, Jakarta: Wadi Press, 2005
al-Qarni, ‘Aidh bin Abdullah, Visualisasi Kepribadian
Muhammad SAW, Penj. Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 2006
Mudjib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006
Munro, E.A., dkk, Counselling: A Skill Approach, Penj. Erman
Amti, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), cet. ke-2
Musnamar, Thohari, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan
Konseling Islami, Yogyakarta: UII Press, 1992
Qal'ah, Rawwas, Dirāsah Tahlīliyah li Syakhsiyyah ar-Rasūl
SAW, Beirut: Dar an-Nafāis, 1996, cet. ke-2
Tohirin, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah
(Berbasis Integrasi), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007
No comments:
Post a Comment